Tidak ada pembahasan berat di sini. Hanya beberapa catatan dari
pengalaman pribadi. Jadi, bersantailah sambil ngopi dan makan gorengan pisang.
ingat, pisang! bukan gorengan bakiak.Suatu ketika, saya sedang duduk di taman kota, dengan seorang
kawan lama. Tidak ada obrolan menarik di antara kami yang perlu
diceritakan panjang lebar, terkecuali satu pernyataan kawan saya itu, yang
membuat saya mengerutkan dahi: “Perempuan berkerudunglah berjilbablah, tapi
kelakuannya belum tentu. Dasar perempuan-perempuan munafik!”. Saya tidak
langsung menanggapi, hanya tersenyum, sambil sesekali memandang wajahnya yang
tiba-tiba jadi masam. Saya tidak berani menduga bahwa ia sedang sakit hati
kepada perempuan berjilbab, semisal ditolak cintanya.
“Ada masalah apa antara perempuan dan jilbab, salahkah?” tanya
saya, setelah saya rasa suasana cukup mendukung untuk menanyakan maksud
pernyataan teman saya itu.
Kemudian dengan sangat lancar ia mengatakan bahwa perempuan
berjilbab adalah perempuan-perempuan munafik. Alasan yang ia sampaikan,
perempuan-perempuan itu tetap saja mau dipegang oleh kekasihnya. “Sok alim!”
gerutu teman saya. “Kalau pendosa ya ngaku saja pendosa, jangan tampil seperti
peri putih bersih!” lanjutnya dengan napas yang mulai terasa panas. “Lagian,
kamu juga pasti punya pengalaman atau paling tidak kamu pernah melihat
perempuan semacam itu, kan!?” cecarnya semakin menggebu-gebu. Saya tetap diam,
membiarkan lebih dahulu apa yang menjadi pemikirannya. Banyak mendengarkan
paling tidak membuat saya paham kapan waktu bicara yang baik dan kapan waktu
diam yang bermanfaat.
“Jadi, nila setitik rusak susu sebelanga nih ceritanya?” tanya
saya pelan.
“Kebalik!” sergahnya. “Nila sebelanga rusak susu setitik!”
Dari obrolan yang cukup panjang itu, beberapa hal yang akhirnya
saya temukan. Pertama, lantaran ‘oknum’ berjilbab yang tidak sadar arti
berjilbab yang menjadi korban akhirnya seluruh perempuan berjilbab. Dalam
istilah jawa disebut “gebyah uyah”. Semua disamaratakan nilainya. Memang banyak
yang berkerudung (saya tidak mengatakan berjilbab, karena beda) yang salah
kaprah. Berkerudung hanya dijadikan model pakaian badan bukan model pakaian
jiwa. Tetapi, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menilai semua perempuan
berkerudung demikian. Tentu para perempuan lebi baik berjilbab dari pada
berkerudung.
Kedua, lebih baik perempuan memakai rok mini semini mininya,
ketimbang perempuan berjilbab—perempuan yang serba terbuka lebih jujur
ketimbang yang tertutup. Ini logika yang rancu. Lebih rancu lagi ketika teman
saya itu mengatakan bahwa penampilan tidak bisa dijadikan ukuran menilai
manusia. Kalau benar begitu, mengapa pernyataan itu tidak ia terapkan kepada
perasangkanya yang begitu buruk terhadap perempuan berjilbab? Mengapa hanya ia
terapkan kepada perempuan pengumbar pusar dan paha yang bisa bikin lelaki
khilaf dan memperkosa perempuan?
Ketiga , teman saya itu tidak bisa membuat indikator yang
memadai sehingga dapat dijadikan tolok ukur untuk membuat sebuah hipotesa.
Tidak sama sekali ia membuat data, seberapa banyak perempuan berjilbab yang
menciptakan kerusakan dan dibandingkan dengan seberapa banyak perempuan yang
serba terbuka yang menciptakan kerusakan. Kalau kekecewaan pribadi terhadap
satu dua orang saja dijadikan tolok ukur menilai keseluruhan, tidak bisa
dianggap sebagai penilaian. Hanya emosi manusia yang tidak terkontrol.
Saat saya tanya secara terbuka, sebenarnya apa yang membuatnya
begitu membenci perempuan berjilbab, ia mengatakan bahwa ia pernah suka pada
perempuan berjilbab, tapi ditolak. Alasannya tidak ingin pacaran. Nah, teman
saya itu berinisiatif untuk mengajak perempuan berjilbab itu berteman
sebagaimana pertemanan biasa. Pertemanan yang diinginkan pun terjalin. Saya
seribu kali sayang, dalam pertemanan sekalipun, perempuan berjilbab itu tidak
mau diajak ngobrol berdua dan tidak mau dipegang tangannya. Kata teman saya,
itu munafik.
Wah, dalam hal ini, saya jadi bingung, apa sih sebenarnya
pengertian munafik itu? untuk menghilangkan kebingungan, saya menanyakan ke
teman saya itu. O lala, dia malah cengengesan. Katanya, mana gw ngerti yang
begituan! Di sini saya menemukan kerancuan untuk kesekian kalinya. Bagaimana
bia seseorang yang tidak paham tentang pengertian “munafik” bisa dengan sangat
fasih menuduh orang lain sebagai “manusia munafik”? akhirnya kebingungan saya
tidak sekadar pengertian “munafik” itu sendiri, tapi sikap teman saya yang
gampangan dalam menilai orang lain.
Pada akhir obrolan, saya hanya menyarankan agar teman saya itu
cukup memosisikan diri sebagai manusia, jangan memosisikan sebagai Tuhan.
Bagaimanapun, orang yang berjilbab sudah berusaha menjalankan perintah Tuhan
untuk menutupi aurat dan turut membantu para lelaki agar mereka tidak diserang
napsu dan birahi gara-gara melihat dada dan paha perempuan yang begitu mudah
dan murah ditemui di mall-mall dan jalanan.
Logika Jungkirbalik
Orang modern belakangan selalu mengatakan bahwa letak
persoalannya bukan pada pakaian perempuan yang terbuka, tapi pada pandangan mata
yang jorok—negatif. Pernyataan tersebut tidak lebih sebagai apologia belaka,
pembelaan saja. Karena bagaimanapun manusia memiliki napsu dan syahwat. Kalau
dirangsang oleh hal-hal yang memungkinkan menimbulkan napsu dan syahwat
tersebut, siapapun akan mengalami gangguan keseimbangan kesadaran. Bagi yang
sadar mungkin bisa berpaling, tapi bagi yang tidak sanggup mengalahkan napsu
dan syahwatnya?
Kemungkinannya bisa sangat banyak. Misalkan, walaupun lelaki itu
tidak langsung menerkam perempuan berdada dan paha terbuka itu, bisa saja ia
melakukan kejahatan di tempat lain, memerkosa ayam atau kerbau milik
tetangganya. Masih mending memerkosa binatang, kalau memerkosa manusia?
Kemungkinan kedua, tentu saja yang terancam adalah perempuan yang berdada dan
paha terbuka itu sendiri. Bisa saja sang laki-laki yang kesetanan napsu dan
syahwat itu mengikuti kemanapun perempuan itu pergi dan jika bertemu kesempatan
baik, langsung diperkosan. Yang paling ringan, lelaki itu befantasi mengenai
perempuan berdada dan paha terbuka.
Di sinilah, para perempuan jangan maunya menempatkan diri
sebagai korban laki-laki saat bagian tubuhnya ditelanjangi oleh mata laki-laki.
Seolah-olah perempuan harus ditolong dan dibela dengan beribu argumentasi
pembenaran. Karena pada keadaan yang sebenarnya, laki-laki adalah korban.
Bagaimana tidak? Saat seorang laki-laki tidak sama sekali berpikir soal birahi,
tiba-tiba kepala dan jiwa mereka diseret dalam birahi yang dahsyat lantaran
perempuan yang membuka dada dan pahanya. Laki-laki terjebak di sana oleh
perempuan.
Nah, kalau tidak ingin ditelanjangi mata laki-laki, jangan
menelanjangi diri. Sesederhana itu sebenarnya. Ini malah aneh, membuka sendiri
tidak mau dilihat dan yang lebih aneh, mau dilihat dan jadi pusat perhatian
tapi marah saat dipandangani terlalu lama, apa lagi kalau disentuh. Ini prilaku
yang cukup sulit dipahami. Antara tindakan dan respon yang diinginkan bertolak
belakang. Ibarat orang berenang di air tawar, tapi inginnya menyelami air asin.
Dan soal perempuan berjilbab yang dianggap munafik oleh beberapa
orang itu, termasuk teman saya itu, hanya politik pengalihan pola pikir
manusia. Tujuannya hanya satu, agar orang yang tidak sanggup berjilbab
itu jauh lebih baik dari yang mau dan ridha untuk berjilbab. Sungguh usaha
yang sangat gigih. Tentu jika usaha ini berhasil, berhasil pula
penjungkirbalikan pola pikir manusia. Yang baik dan diperintahkan dianggap
buruk dan yang buruk dan merusak dianggap baik.
Wah, bumi manusia!
Ditulis oleh Muhammad Rois Rinaldi, pengurus Rumah Baca Bintang
Al-Ikhlas Banten.
Nice post kawan
BalasHapus