Kamis, 19 November 2015

LOGIKA JUNGKIR BALIK : BERJILBAB ITU MUNAFIK


Tidak ada pembahasan berat di sini. Hanya beberapa catatan dari pengalaman pribadi. Jadi, bersantailah sambil ngopi dan makan gorengan pisang. ingat, pisang! bukan gorengan bakiak.Suatu ketika, saya sedang duduk di taman kota, dengan seorang kawan lama. Tidak ada obrolan menarik  di antara kami yang perlu diceritakan panjang lebar, terkecuali satu pernyataan kawan saya itu, yang membuat saya mengerutkan dahi: “Perempuan berkerudunglah berjilbablah, tapi kelakuannya belum tentu. Dasar perempuan-perempuan munafik!”. Saya tidak langsung menanggapi, hanya tersenyum, sambil sesekali memandang wajahnya yang tiba-tiba jadi masam. Saya tidak berani menduga bahwa ia sedang sakit hati kepada perempuan berjilbab, semisal ditolak cintanya.

“Ada masalah apa antara perempuan dan jilbab, salahkah?” tanya saya, setelah saya rasa suasana cukup mendukung untuk menanyakan maksud pernyataan teman saya itu.

Kemudian dengan sangat lancar ia mengatakan bahwa perempuan berjilbab adalah perempuan-perempuan munafik. Alasan yang ia sampaikan, perempuan-perempuan itu tetap saja mau dipegang oleh kekasihnya. “Sok alim!” gerutu teman saya. “Kalau pendosa ya ngaku saja pendosa, jangan tampil seperti peri putih bersih!” lanjutnya dengan napas yang mulai terasa panas. “Lagian, kamu juga pasti punya pengalaman atau paling tidak kamu pernah melihat perempuan semacam itu, kan!?” cecarnya semakin menggebu-gebu. Saya tetap diam, membiarkan lebih dahulu apa yang menjadi pemikirannya. Banyak mendengarkan paling tidak membuat saya paham kapan waktu bicara yang baik dan kapan waktu diam yang bermanfaat.

“Jadi, nila setitik rusak susu sebelanga nih ceritanya?” tanya saya pelan.
“Kebalik!” sergahnya. “Nila sebelanga rusak susu setitik!”

Dari obrolan yang cukup panjang itu, beberapa hal yang akhirnya saya temukan. Pertama, lantaran ‘oknum’ berjilbab yang tidak sadar arti berjilbab yang menjadi korban akhirnya seluruh perempuan berjilbab. Dalam istilah jawa disebut “gebyah uyah”. Semua disamaratakan nilainya. Memang banyak yang berkerudung (saya tidak mengatakan berjilbab, karena beda) yang salah kaprah. Berkerudung hanya dijadikan model pakaian badan bukan model pakaian jiwa. Tetapi, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menilai semua perempuan berkerudung demikian. Tentu para perempuan lebi baik berjilbab dari pada berkerudung.
Kedua, lebih baik perempuan memakai rok mini semini mininya, ketimbang perempuan berjilbab—perempuan yang serba terbuka lebih jujur ketimbang yang tertutup. Ini logika yang rancu. Lebih rancu lagi ketika teman saya itu mengatakan bahwa penampilan tidak bisa dijadikan ukuran menilai manusia. Kalau benar begitu, mengapa pernyataan itu tidak ia terapkan kepada perasangkanya yang begitu buruk terhadap perempuan berjilbab? Mengapa hanya ia terapkan kepada perempuan pengumbar pusar dan paha yang bisa bikin lelaki khilaf dan memperkosa perempuan?
Ketiga , teman saya itu tidak bisa membuat indikator yang memadai sehingga dapat dijadikan tolok ukur untuk membuat sebuah hipotesa. Tidak sama sekali ia membuat data, seberapa banyak perempuan berjilbab yang menciptakan kerusakan dan dibandingkan dengan seberapa banyak perempuan yang serba terbuka yang menciptakan kerusakan. Kalau kekecewaan pribadi terhadap satu dua orang saja dijadikan tolok ukur menilai keseluruhan, tidak bisa dianggap sebagai penilaian. Hanya emosi manusia yang tidak terkontrol.
Saat saya tanya secara terbuka, sebenarnya apa yang membuatnya begitu membenci perempuan berjilbab, ia mengatakan bahwa ia pernah suka pada perempuan berjilbab, tapi ditolak. Alasannya tidak ingin pacaran. Nah, teman saya itu berinisiatif untuk mengajak perempuan berjilbab itu berteman sebagaimana pertemanan biasa. Pertemanan yang diinginkan pun terjalin. Saya seribu kali sayang, dalam pertemanan sekalipun, perempuan berjilbab itu tidak mau diajak ngobrol berdua dan tidak mau dipegang tangannya. Kata teman saya, itu munafik.
Wah, dalam hal ini, saya jadi bingung, apa sih sebenarnya pengertian munafik itu? untuk menghilangkan kebingungan, saya menanyakan ke teman saya itu. O lala, dia malah cengengesan. Katanya, mana gw ngerti yang begituan! Di sini saya menemukan kerancuan untuk kesekian kalinya. Bagaimana bia seseorang yang tidak paham tentang pengertian “munafik” bisa dengan sangat fasih menuduh orang lain sebagai “manusia munafik”? akhirnya kebingungan saya tidak sekadar pengertian “munafik” itu sendiri, tapi sikap teman saya yang gampangan dalam menilai orang lain.
Pada akhir obrolan, saya hanya menyarankan agar teman saya itu cukup memosisikan diri sebagai manusia, jangan memosisikan sebagai Tuhan. Bagaimanapun, orang yang berjilbab sudah berusaha menjalankan perintah Tuhan untuk menutupi aurat dan turut membantu para lelaki agar mereka tidak diserang napsu dan birahi gara-gara melihat dada dan paha perempuan yang begitu mudah dan murah ditemui di mall-mall dan jalanan.  


Logika Jungkirbalik

Orang modern belakangan selalu mengatakan bahwa letak persoalannya bukan pada pakaian perempuan yang terbuka, tapi pada pandangan mata yang jorok—negatif. Pernyataan tersebut tidak lebih sebagai apologia belaka, pembelaan saja. Karena bagaimanapun manusia memiliki napsu dan syahwat. Kalau dirangsang oleh hal-hal yang memungkinkan menimbulkan napsu dan syahwat tersebut, siapapun akan mengalami gangguan keseimbangan kesadaran. Bagi yang sadar mungkin bisa berpaling, tapi bagi yang tidak sanggup mengalahkan napsu dan syahwatnya?
Kemungkinannya bisa sangat banyak. Misalkan, walaupun lelaki itu tidak langsung menerkam perempuan berdada dan paha terbuka itu, bisa saja ia melakukan kejahatan di tempat lain, memerkosa ayam atau kerbau milik tetangganya. Masih mending memerkosa binatang, kalau memerkosa manusia? Kemungkinan kedua, tentu saja yang terancam adalah perempuan yang berdada dan paha terbuka itu sendiri. Bisa saja sang laki-laki yang kesetanan napsu dan syahwat itu mengikuti kemanapun perempuan itu pergi dan jika bertemu kesempatan baik, langsung diperkosan. Yang paling ringan, lelaki itu befantasi mengenai perempuan berdada dan paha terbuka.
Di sinilah, para perempuan jangan maunya menempatkan diri sebagai korban laki-laki saat bagian tubuhnya ditelanjangi oleh mata laki-laki. Seolah-olah perempuan harus ditolong dan dibela dengan beribu argumentasi pembenaran. Karena pada keadaan yang sebenarnya, laki-laki adalah korban. Bagaimana tidak? Saat seorang laki-laki tidak sama sekali berpikir soal birahi, tiba-tiba kepala dan jiwa mereka diseret dalam birahi yang dahsyat lantaran perempuan yang membuka dada dan pahanya. Laki-laki terjebak di sana oleh perempuan.
Nah, kalau tidak ingin ditelanjangi mata laki-laki, jangan menelanjangi diri. Sesederhana itu sebenarnya. Ini malah aneh, membuka sendiri tidak mau dilihat dan yang lebih aneh, mau dilihat dan jadi pusat perhatian tapi marah saat dipandangani terlalu lama, apa lagi kalau disentuh. Ini prilaku yang cukup sulit dipahami. Antara tindakan dan respon yang diinginkan bertolak belakang. Ibarat orang berenang di air tawar, tapi inginnya menyelami air asin.
Dan soal perempuan berjilbab yang dianggap munafik oleh beberapa orang itu, termasuk teman saya itu, hanya politik pengalihan pola pikir manusia. Tujuannya hanya satu, agar orang yang  tidak sanggup berjilbab itu jauh lebih baik dari yang mau dan ridha untuk berjilbab. Sungguh usaha  yang sangat gigih. Tentu jika usaha ini berhasil, berhasil pula penjungkirbalikan pola pikir manusia. Yang baik dan diperintahkan dianggap buruk dan yang buruk dan merusak dianggap baik. 

Wah, bumi manusia!

Ditulis oleh Muhammad Rois Rinaldi, pengurus Rumah Baca Bintang Al-Ikhlas Banten.


               Rumah Seorang Penyair

1 komentar:

Orang baik akan selalu berkomentar jika membaca

Cerpen Matematika "TUGAS DARI PAK OTONG"

Teet…teet… teet… teet. Suara bel bergema. Itu tanda waktu pulang Sekolah. Semua murid berhamburan keluar dari kelas, kecuali kelas tiga....