Teet…teet… teet… teet.
Suara bel bergema. Itu tanda waktu pulang
Sekolah. Semua murid berhamburan keluar dari kelas, kecuali kelas tiga. Di
dalam kelas tiga ada Pak Otong. Ia sedang memberi tugas kelompok kepada para
siswa. Pak Otong adalah guru kelas yang selalu memberi tugas kelompok setiap
min ggunya.
“Anak-anak minggu ini tugas kalian adalah
membeli buku di pasar!” seru Pak Otong. “
Ida mengngkat tangan seraya bertanya “Beli
buku apa, Pak?”
“Buku cerita atau buku doa-doa anak,”
jelas Pak Otong.
“Baik Pak,” jawab anak-anak serentak.
Tidak ada yang protes, siswa-siswanya
selalu nurut jika diberi tugas oleh Pak Otong. Bahkan mereka gembira menerima
tugas-tugas itu, karena tugas dari Pak Otong tidak membosankan. Ada saja
kejutan-kejutan yang membuat para siswa merasa tertantang.
Tugas membeli buku yang diberikan Pak
Otong bukan tanpa alasan. Jarak antara sekolah dengan pasar sangat dekat, hanya
berjarak 100 meter. Anak-anak tinggal jalan kaki saja. Selain itu, Pak Otong
memanfaatkan pasar sebagai objek belajar bagi muridnya.
Bagi Pak Otong, ketika para siswa diberi
pelajaran dengan cara memanfaatkan keadaan sekililing akan membuat murid-muridnya
menerima ilmu pengetahuan.
Setelah Pak Otong selesai menjelaskan
tugas pada muridnya, semua murid dipersilahkan keluar. Karena tugas itu boleh
dikerjakan selama satu minggu, ada yang langsung pulang, namun ada pula yang
langsung ke pasar.
“Li
langsung ke pasar, yuk!” ajak Ida kepada Arli.
“Ayo Da, biar besok langsung diberikan ke
Pak Otong hasilnya”, jawab Arli.
Arli, Ida, bersama tiga temannya yang
lain menjadi satu kelompok berjalan bersama-sama menuju pasar.
***
Ida, Arli, dan tiga temannya membeli 4
buku di salah satu pedagang emperan di pasar Kranggot. Mereka membeli 1 buku
Dongeng Dampu Awang seharga Rp7.500, buku Doa Anak Shaleh seharga Rp5.000, satu
buku komik Geger Cilegon dengan harga Rp.8.000, dan satu lagi buku cerita Rakyat
Cilegon seharga Rp.6.000.
“Berapa Pak semuanya?” tanya Arli kepada
penjual buku.
“Rp25.500, Nak,” kata penjual.
Ida membayar dengan satu lembar uang pecahan
Rp20.000 dan satu lembar uang pecahan Rp10.000 hasil sumbangan dari semua siswa
di kelompoknya.
“Ini, Pak,” Ida menyodorkan uang
tersebut.
Penjual buku menerima uang itu dan memberikan
kembalian sebesar Rp4.500.
“Terima kasih, Pak,” mereka bersama-sama
mengucapkan terima kasih dengan ramah dan sopan.
“Sama-sama, Anak-anakku,” jawab penjual
buku dengan senyuman yang membuat para siswa merasa begitu akrab dengan lelaki
dewasa kisaran 35 tahunan itu.
Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba
Arli berhenti dan langsung menatap Ida--juga ketiga temannya yang lain.
“Kita harus balik lagi ke pedagang buku
yang tadi!”
“Memangnya
kenapa?” serentak teman-temannya bertanya keheranan.
“Ada yang ketinggalan?” Ida bertanya lagi
untuk memastikan.
“Tidak!”
“Lalu?” lagi-lagi teman-temannya bertanya
serentak.
“Sepertinya
bapak itu salah hitung,” Arli menjelaskan. “Coba hitung lagi.”
“Coba kamu hitung, Arli,” pinta Ida
disambut anggukan teman-temannya.
“Begini teman-teman, harga buku dongeng
Rp7.500, harga buku do’a anak Rp5.000, harga buku komik Rp8.000, dan harga buku
cerita Rp6.000. Ayo kita bersama-sama menghitung, 7.500 + 5.000 + 8.000 + 6.000
= 26.500.”
“Bapak itu bilang Rp.25.500,” Ida mulai
sadar ada yang salah. “Berarti kita
kurang bayarnya,”
“Berapa kurangnya, Da?” tanya tiga
temannya yang lain.
“Tadi
Arli sudah menghitung, mestinya kita membayar Rp26.500 , tapi kita bayar Rp30.000
dikasih kembalian Rp4.500. Jadi, tadi kita bayar hanya Rp25.500. Sekarang kita
hitung deh, Rp27.500-Rp25.500. Kita kurang Rp1.000.”
Mendapat penjelasan dari Ida, semua
setuju untuk kembali ke pasar. Mereka memang anak-anak yang baik. Mereka tidak
mau mengambil apa pun yang bukan hak mereka. Oleh karena itu, mereka sangat
menyukai pelajaran matematika. Karena dengan matematika, mereka bisa menghitung
mana yang menjadi hak orang lain dan mana yang menjadi hak mereka.
Sesampainya mereka di depan penjual buku,
penjual itu kebingungan.
“Kok anak-anak balik lagi, ada yang
ketinggalan?”
“Tidak, Pak,” Ida menjawab sambil
tersenyum. “Tadi bapak salah hitung harusnya kami membayar Rp.26.500 bukan
Rp.25.500.
“Jadi kami kurang Rp.1.000 bayarnya kepada
Bapak,” Arli ikut menjelaskan.
Pedagang itu tersenyum. “Wah terima kasih
ya anak-anak, kalian adalah anak-anak jujur. Orang tua kalian pasti bangga punya
anak seperti kalian,”
Mereka
pulang membawa belanjaan tugas dari Pak Otong. Pak Otong adalah guru yang
selalu mengajarkan kejujuran kepada mereka.
Sudah seharusnya kita bersikap jujur kepada
siapapun, kan? Jujur kepada orang tua, guru, teman, pedagang dan kepada semua
orang.